Funan kerajaan melayu tertua di Asia Tenggara




1. Sejarah Kerajaan Funan

Kerajaan Funan merupakan kerajaan dengan peradaban maju pada masanya, karena terdapat dalam beberapa sejarah Cina. Kerajaan Melayu Funan bukanlah kerajaan orang gua, tetapi kerajaan hebat yang menjalankan perdagangan dengan pesat sampai ke kota Roma dan Yunani. Berdasarkan artefak-artefak Eropa Kuno yang dijumpai di Vietnam.

Sejarah Cina menyebutkan kerajaan ini sebagai Funan atau B’iu-nam dan kewujudan telah disadari sejak awal abad pertama Masehi. Nama ini juga muncul dalam sejarah Cina sekitar 221-280 Masehi dan hilang pada abab ke-7 Masehi. Briggs mengatakan (L.P.Briggs;1999:12) ada kemungkinan Funan hilang dari sejarah sekitar tahun 627 Masehi atau tidak lama selepas itu.

Kewujudan kerajaan purba ini cuma dikesan melalui sumber-sumber Cina dan sejumlah prasasti-prasasti yang ditinggalkan. Di samping menggunakan nama-nama Sanskrit, raja-raja negeri ini juga menggelarkan diri mereka sebagai Sailenraja atau ‘Raja Gunung’. Dalam bahasa setempat ia mendapat gelar ‘kurung bnam’ yang juga bermaksud ‘raja gunung’. Bangsa Funan dikenal dari rumpun Melayu (D.G.E Hall;1979:34)

Pusat pemerintahannya terletak di bagian hilir Sungai Mekong, namun kawasan pemerintahan meliputi selatan Vietnam, lembah tengah Mekong, lembah Chao Phraya dan Semenanjung Tanah Melayu. Walaupun kota dan pelabuhan utamanya, Oc-Eo terletak di pinggir Teluk Siam, akan tetapi ibukotanya Wijayapura (Wyadhapura) terletak lebih kurang 200 km dari laut berhimpitan dengan bukit Ba Phnom.

Berita pertama tentang kerajaan Melayu Purba ini diperoleh dari tulisan perwakilan Cina yang melewati negara itu sekitar pertengahan abad ke-13 Masehi. Perwakilan itu terdiri dari K’ang T’ai dan Chu Ying. Menurut laporan K’ang T’ai, yang dikutip oleh T’pai P’ing Yu Lan (ditulis antara 977-983 Masehi), raja pertama Funan adalah Houen-Chen (Hun-T’ien) atau nama Sanskritnya Kaundinya. Dikatakan beliau datang dari India atau dari Tanah Melayu atau dari Kepulauan Indonesia pada saat itu.

Legenda setempat mengatakan bahwa Kaundinya menikah dengan seorang wanita bernama Daun Teratai (dalam sejarah Cina disebut Liu-Yeh). Setelah itu dikatakan Kaundinya menjadi raja.

Dalam sejarah Dinasti Chin ada yang menyebut tentang kerajaan Funan, yaitu:Lebar wilayahnya 3000 li, terdapat kota-kota bertembok, istana dan rumah didalamnya. Lelakinya ***** dan hitam, rambut mereka keriting. Mereka mundar-mandir tanpa pakaian dan berkaki ayam. Mereka hidup secara mudah dan tidak mencuri. Mereka menjalankan pertanian. Disamping itu mereka gemar mengukir perhiasan dan memahat. Banyak pinggan-mangkuk yang mereka gunakan untuk makan diperbuat dari perak. Cukai dibayar dengan emas, perak, mutiara dan minyak wangi. Mereka mempunyai buku, arkib dan sebagainya. Tulisan mereka menyerupai tulisan Hou. Perkawinan dan upacara pengebumian mereka pada keseluruhannya sama dengan yang terdapat di Lin-yi. (B.R Chatterji;1964;18)

Namun dalam versi lain yang tertulis dalam inskipsi Champa ada yang mencatatkan, seorang Brahmana bernama Kaundinya telah menikah dengan seorang puteri bernama Soma, anak raja naga. Dari keturunan merekalah Funan dapat menaklukkan dan dapat memerintah. Sebelum kedatangan pengaruh India, kedudukan wanita dalam masyarakat sangat tinggi, malahan mereka menerima pemerintahan dari seorang wanita yang ditunjuk dari budaya Melayu yang paling toleran dan amat demokrasi dibandingkan dengan budaya-budaya lain.

Satu contoh lain yang terkenal adalah Ratu-ratu Pattani yang digambarkan dalam filem Queens of Langkasuka. Di dalam legenda Funan menyebutkan bagaimana Liu-Ye seorang raja perempuan Funan telah memimpin sekumpulan pelaut Melayu menyerang kapal-kapal perdagangan yang melintasi laut mereka.

Kerajaan Funan inilah yang dapat memberi kesan lebih sebagai kerajaan rumpun Melayu yang pertama (yang wujud dalam abad ke-1M hingga pertengahan abad ke-6M) atau jika dikembangkan lagi atas nama Kerajaan Chenla (mengingatkan pengasasnya memang warisan Funan) sampai 800M. Pusat pemerintahan Kerajaan Funan di Wyadhapura, bersebelahan dengan Phnom Penh, yang dihubungkan dengan terusan ke sebuah pelabuhan bernama Oc-eo atau Oc Eo di Vietnam, Provinsi Long Xuyen. Kerajaan Funan mempunyai wilayah sebagian besar Indo-China sekarang hingga ke negeri-negeri di utara Semenanjung Malaysia sekarang.

Dalam abad ke-3M hingga ke-6M seluruh Thailand Selatan dan negeri-negeri di utara Semenanjung Malaysia sekarang ini berada di bawah Funan. Nama Kerajaan Funan ini sekaligus memberi makna “Melayu” itu sendiri. Perkataan Funan itu berasal dari ejaan bahasa Melayu modern yang ditranskripsikan ke bahasa Cina dengan wujud: Founan, Fou-nan atau Fou-Nan yang merujuk kepada Phnom bahasa “Melayu”- Mon-Khmer purba dalam bahasa Melayu kini ialah “Gunung”.

Perkataan Phnom itu hidup sampai sekarang di Kamboja seperti pada nama ibu negaranya sekarang, Phnom Penh, itu yang jika diistilahkan dalam bahasa Melayu sekarang ialah “Gunung Banang” (“Gunung Banang” amat popular dalam puisi, nyanyian dan lagenda Melayu sehingga menjadi judul lagu asli, mungkin sebuah nostalgia Melayu dari Phnom Penh dan legenda Melayu mengatakan,konon dulu seorang adik Puteri Gunung Ledang itu namanya Puteri Gunung Banang yang diam di Gunung Banang di Johor).

Ini menunjukkan bangsa yang berkerajaan di Kamboja itu adalah bangsa Uran Phnom (Orang Gunung; perkataan uran ialah transkripsi dari perkataan “Melayu” purba yang sudah ada di prasasti Campa abad ke-4M dalam aksara Hindia Palawa) yang disebut dengan pelat/logat Cinanya sebagai Orang Funan. Keturunan raja Funan ini lari dari Kamboja dan mendirikan kerajaan barunya di Jawa Barat, maka kerajaan baru itu dinamai Sailendra (abad ke-7M hingga ke-8M) kerana ingin mengingatkan akan asal-usulnya, “Orang Gunung” itu, kerana perkataan Sailendra/Silindra itu pun memang bermaksud “Tuan Mulia Orang Gunung”, malah ada istilah “Sailaraja” yang bermaksud “Raja Orang Gunung”.

Berbicara mengenai “Bangsa Gunung” ,satu lagi bukti tentang orang Melayu yang konon berasal dari “Orang Gunung” adalah sebuah tulisan Manansala, seorang sarjana sejarah. Beliau mencatat satu sumber China abad ke-3M lagi yang merujuk kepada bangsa Melayu sebagai Kunlun dalam ungkapan Kunlun-po yang berarti “kapal Orang Gunung” (po ialah sebutan China kepada perkataan “kapal” sekarang; sedangkan kunlun itu lafaz China dahulu (loghat/dialek lain) kepada pnom/phnom atau “gunung” itu, selain dari Funan itu. Kapal Kunlun ini diperihalkan oleh sejarawan China abad ke-3M yang bernama Wan Chen yang katanya sampai kira-kira 200 kaki (sekitar 60m) panjangnya dan setinggi 20 kaki (sekitar 6m), dan dapat memuat hingga 600-700 orang dan kargo seberat 900 ton (Fakta ini memang selalu dipetik oleh para pemuka teori “Budaya Gelombang” termasuk Geldern yang membuktikan kemampuan penghijrahan orang dahulu mengarungi samudera sekalipun.

Kesimpulannya, ialah betapa masyhurnya rumpun Melayu sejak abad ke-3M yang sekaligus menunjukkan kehebatan ilmunya, termasuk kepemimpinan dan kepengurusannya. Bukti Kapal masih dapat disaksikan lukisannya di dinding candi Borobudur di Yogyakarta, Jawa Tengah, itu adalah hasil binaan artefak rumpun Melayu zaman Sriwijaya dan Sailendra abad ke-8M. Candi Borobudur ini dianggap satu dari tujuh keajaiban di dunia, dari segi seninya lebih hebat dari piramid di Mesir. Catatan sejarawan China terkenal abad ke-7M bernama I-Ching (yang berada di Palembang beberapa tahun untuk menyalin kitab-kitab yang diminatinya dalam bahasa Melayu purba atau kuno ini), dengan jelas merujuk bahasa dan bangsa di Palembang itu sebagai bahasa dan bangsa Kunlun juga . Pengkaji sejarah Malaysia umumnya menggunakan istilah “Melayu purba” dan “Melayu kuno” (dengan nama “ancient Malay”) dengan maksud yang sama, untuk rumpun Melayu dari abad ke-2M hingga abad ke-12M (kedatangan Islam).

Sebelum sumber China ini, mengatakan tentang Manansala itu juga, dalam sebuah tulisan orang Yunani dalam abad pertama Masehi, Periplus Maris Erythraei, yang diterjemah kedalam bahasa Inggris 1912 sebagai The Periplus of the Erythraean Sea (Pelayaran ke Lautan Hindia) yang diterbitkan oleh Longman dan baru-baru ini diberi ulasan lagi oleh Casson terbitan Princeton Univ. Press 1989 tentang perihal kapal-kapal dari tempat yang dinamainya Chryse di Kepulauan Melayu dan kapal itu dinamai Kolan-diphonta atau terjemahan harfiahnya “kapal-Kolan”, dan perkataan Kolan itu adalah versi Yunani yang diterjemahin dalam versi China, sebagai Kunlun.

Sebuah sumber dari China mengatakan, raja-raja Funan yang dicatat adalah Fan-shih-man (205M-225M), Fan Shi-Shen 225M (mati dibunuh oleh sepupunya Fan Chan), Fan Chan (225M-330M), Fan Hsun (240/245M-250/285M), Jayavarman (yaitu Jayavarman I, yg memerintah 478M-514M), Rudravarman (yang memerintah 514-539M dan dianggap raja Funan terbesar yang terakhir). Mengikut sumber lainnya (Hindu dan prasasti), terdapat beberapa orang raja Funan lagi seperti Chandan yang memerintah sekitar 350M, Bhavavarman I sekitar 560M-570M dan Isanavarman (616-635M), walaupun beberapa ahli sejarah mengatakan Bhavavarman I dan Isnavarman adalah raja Chenla, karena dalam masa itu Chenla dan Funan dalam proses penyatuan, penyerapan atau pendominasian seperti yang dibicarakan nanti, malah Isanavarman dianggap menawan Funan pada 628.

Pada puncaknya (kira-kira abad ke-5M), Kerajaan Funan menguasai daerah delta Mekong (sebagian besar dari Kamboja dan Vietnam sekarang yang masa itu dikenali sebagai Campa dan Dai Viet), sebagian besar Thailand sekarang (masa itu terkenal dengan Siam), Myanmar Selatan sekarang, hingga sebagian besar Semenanjung Malaysia sekarang yang pada masa itu dikenal sebagai Langkasuka.

2. Perkembangan Kerajaan Funan

Kemajuan Kerajaan Funan dalam bidang ilmu pengetahuan menyebabkan Dinasti China mengimport sarjana-sarjana Funan seperti Nagasen (sarjana yang diutus ke China 480M), dan Madrasena (sarjana yang diutus ke China pada 503M) untuk mengajari pegawai-pegawai dan cendekiawan China. Lihat, dahulu bangsa Melayu seorang pakar ilmu dalam berbagai bidang ilmu sehingga Emperor China pun terpaksa meminjam sarjana Melayu untuk mengajari mereka. Tidak heran ketika era Sriwijaya, kelayakan seorang pendeta Buddha di China tidak lengkap jika tidak mendapat pengiktirafan dari universitas-universitas Sriwijaya.

Kerajaan Funan juga mempunyai sistem percukaian sendiri (termasuk impot-ekspot), dan perniagaan yang cukup mantap. Sebagian dari kemampuan ini dikarenakan Funan mempunyai sistem angkanya sendiri yang mengandung angka (simbol nomor) sifat/kosong yang tertua di dunia (berakhir pada awal abad ke-7 seperti yang disebut di atas, dan besar kemungkinannya dalam abad ke-6 lagi) jauh lebih awal daripada sistem angka Muslim atau Hindu yang biasanya dikatakan tertua di dunia. Kajian akan kemasyhuran Kambujadesa dimulai abad ke-7 Masehi yang dilakukan oleh Sharan (1974) itu sedikitnya dapat juga memberikan gambaran lebih terperinci akan pencapaian pengurusan Funan, walaupun kajian semuanya berasaskan prasasti Kamboja yang dalam bahasa Sanskrit saja. Kajian sepertinya untuk prasasti dalam bahasa Non-Khmer purba itu nampaknya belum dilakukan hingga kini.

Puncak kerajaan Chenla ini di bawah raja yang bernama Jayavarman I sekitar 750M. Tidak heran ahli-ahli sejarah Kampuchea yang menganggap kerajaan Funan sebagai kerajaan pra-Chenla, pra-Kambujadesa atau pra-Angkor, kerana kemasyhuran Kampuchea bermula dari kemasyhuran Kerajaan Funan dan puncaknya saat Kambuja yang berpusat di Angkor menjadi terkenal melalui bangunan Wat/Vat Angkor pada abad ke-12M yang terkenal sebagai salah satu dari keajaiban dunia, walaupun secara resminya nama Kambujadesa bermula pada pertengahan abad ke-10M, yaitu zaman Raja Khmer purba yang bernama Rajendravarman seperti yang diterangkan sebelum ini.

Namun beberapa ahli sejarah mengatakan nama Kambujadesa atau Kambuja (dengan ejaan Rumi Melayu-nya mulai abad ke-20M sebagai Kamboja karena masalah perubahan ejaan dari asal ke Jawi dan ke Rumi) itu dipakai antara 9M hingga 13M. Jelaslah Kambujadesa (atau Kamboja saja, yang mengikut ejaan Rumi Melayu-nya, Kemboja, dan ejaan yang dipengaruhi oleh Perancis atau Inggris ialah seperti Kamboja, Cambodia, Cambodge dan kini Kampuchea) memang sukar dipisahkan dengan Funan dan kerajaan rumpun Melayu purba.

3. Bukti-Bukti Sejarah Kerajaan Funan

Jika dihitung dari prasasti yang direkam oleh Majumdar (1953), zaman kerajaan Funan-Chenla terdapat peninggalan kira-kira 200 buah prasasti (batu bersurat) yang 80 dari dalam bahasa Non-Khmer purba, dikatakan terdapat hubungan dengan bahasa Melayu Purba paling tua sekitar 531 Syaka/Saka/Shaka (=609M). Prasasti zaman Funan sebenarnya (sebelum abad ke-6M) diceritakan oleh Muhammad Alinor (pengkaji gigih kemasyhuran Funan di UKM) hanya sebanyak 11 buah juga dalam bahasa Sanskrit dan Non-Khmer.

Di antara prasasti Funan-Chenla itu ada simbol sifat yang paling tu (awal abad ke-7M), sekaligus kita boleh menyimpulkan sistem angka perpuluhan yang tertua di dunia dalam wujud prasasti zaman kemasyhuran Funan-Chenla ini kalaupun bukan zaman kerajaan Funan sebenar-benarnya. Walau bagaimanapun,yang jelas bahasa pada prasasti Funan ialah Sanskrit dan Non-Khmer saja,dikemukakan oleh Sharan (1974) Funan mempunyai bahasanya sendiri (rumpun Melayu) yang menggunakan aksaranya sendiri (dipercaya diperkenalkan dari Saka atau Syaka, seorang Brahmin India di Funan) yang berasaskan aksara Sanskrit tersebut.

4. Jatuhnya Kerajaan Funan


 Pengganti kerajaan Funan adalah sebuah negeri seperti Funan juga (Chenla namanya, tetapi mungkin sekali suku kaum yang berbeda, walaupun serumpun), bahkan raja Chenla yang merupakan keturunan dari Raja Funan, Bhavavarman I, cucu raja Funan yang bernama Rudravarman.

Sepertinya Bhavavarman I sadar akan kemungkinan besar beliau tidak akan mungkin menjadi raja Funan, maka iapun menikah dengan seorang putri raja Chenla (negeri di daerah Laos sekarang tetapi dahulu adalah kerajaan di bawah naungan Funan) yang nantinya akan menjadi raja karena ketiadaan putra raja, saat ia menjadi raja Chenla, ia mampu mengalahkan Funan. Dengan kemenangan itu, Bhavavarman I (walau berasal dari keluarga raja Funan tetapi dipengaruhi oleh permaisurinya) mula mengikis kebudayaan Funan dengan men-Chenla-kan (meng-Kambuja-kan).

Kerajaan Funan pada zaman raja Funan-Chenla bernama Isnavarman dikatakan berjaya sepenuhnya dalam penyatuan Funan dengan Chenla dengan menumbuhkan seorang ibukota kerajaan yang baru bernama Sambor sekitar 40km dari Angkor. Tidak heran penaklukan Funan oleh cucu raja Funan itu sering dianggap sebagai kejatuhan Funan dan bermulanya sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Chenla, yang merupakan tunas pembentukan kerajaan Khmer purba yang dikenali sebagai Kambujadesa dan kemudian dikenal oleh ahli sejarah barat sebagai Empayar Angkor.